A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1.
DEFINISI
·
Cedera
tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis
akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan
olah raga dsb ( Sjamsuhidayat, 1997).
·
Cedera
medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang sering kali
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah L1-2
dan/atau dibawahnya maka akan dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan
sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih. (Doengoes, 1999; 338)
·
Cedera
medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh
benturan pada daerah medulla spinalis. (smeltzer, 2001 ; )
·
Trauma
tulang belakang adalah cedera pada tulang belakang (biasanya mengenai servikal
dan lumbal) yang ditandai dengan memar, robeknya bagaian pada tulang belakang
akibat luka tusuk atau fraktur/ dislokasi di kolumna spinalis. (ENA, 2000 ;
426)
·
Trauma
spinal cord adalah cedera yang mengakibatkan fungsi konduksi saraf terganggu,
reflex dan fungsi motorik berkurang, terjadi perubahan sensasi, dan syok
neurogenik. (Campbell, 2004 ; 130)
2.
PENYEBAB
Adapun penyebab dari trauma servikal
dan spinal antara lain :
v
Seseorang
yang terpeleset di lantai,
v
Menyelam
di air yang dangkal.
v
Terlempar
dari kuda atau motor
v
Jatuh
dari ketinggian dalam posisi berdiri
v
Kecelakaan
motor.
v
Terjatuh.Anak-anak
yang memakai sabuk bahu yang tidak sesuai di sekitar leher.Leher
tergantung.(Campbell, 2004 ; 131)
Berikut ini adalah mekanisme cedera
tumpul spinal menurut Campbell (2004 ; 131) :
·
Hiperektensi
Kepala
dan leher bergerak ke belakang / hiperektensi secara berlebihan.
·
Hiperfleksi
Ke
pala
di atas dada bergerak ke depan / heperfleksi dengan berlebihan.
·
Kompresi
Bobot
tubuh dari kepala hingga pelvis mengakibatkan penekanan pada leher atau batang
tubuh.
·
Rotasi
Rotasi
yang berlebih dari batang tubuh atau kepala dan leher sehingga terjadi
pergerakan berlawanan arah dari kolumna spinalis.
·
Penekanan
ke samping
Pergerakan
ke samping yang berlebih menyebabkan pergeseran dari kolumna spinalis.
·
Distraksi
Peregangan
yang berlebihan dan kolumna spinalis dan spinal cord.
3.
TANDA DAN GEJALA
Menurut menurut ENA (2000 : 426),
tanda dan gejala adalah sebagai berikut:
Ø Pernapasan dangkal
Ø penggunaan otot-otot pernapasan
Ø pergerakan dinding dada
Ø Hipotensi (biasanya sistole kurang
dari 90 mmHg)
Ø Bradikardi
Ø Kulit teraba hangat dan kering
Ø Poikilotermi (Ketidakmampuan mengatur
suhu tubuh, yang mana suhu tubuh bergantung pada suhu lingkungan)
Ø kehilangan sebagian atau keseluruhan
kemampuan bergerak
Ø Kehilangan sensasi
Ø terjadi paralisis, paraparesis,
paraplegia atau quadriparesis/quadriplegia
Ø adanya spasme otot, kekakuan
Menurut menurut Campbell (2004 ; 133)
Ø Kelemahan otot
Ø Adanya deformitas tulang belakang
Ø adanya nyeri ketika tulang belakang
bergerak
Ø terjadinya perubahan bentuk tulang
servikal akibat cedera
Ø Kehilangan control dalam eliminasi
urin dan feses,
Ø terjadinya gangguan pada ereksi penis
(priapism)
4.
PATOFISIOLOGI
Akibat
kecelakaan, terpeleset, terjatuh dari motor, jatuh dari ketinggian dalam posisi
berdiri menyebabkan cedera pada kolumna vertebra dan medulla spinalis yang
dapat menyebabkan gangguan pada beberapa system, diantaranya :
1)
Kerusakan
jalur simpatetik desending yang mengakibatkan terputusnya jaringan saraf
medulla spinalis, karena jaringan saraf ini terputus maka akan menimbulkan
paralisis dan paraplegi pada ekstremitas.
2)
Dari
cedera tersebut akan menimbulkan perdarahan makroskopis yang akan menimbulkan
reaksi peradangan, dari reaksi peradangan tersebut akan melepaskan mediator
kimiawi yang menyebabkan timbulnya nyeri hebat dan akut, nyeri yang timbul
berkepanjangan mengakibatkan syok spinal yang apabila berkepanjangan dapat
menurunkan tingkat kesadaran. Reaksi peradangan tersebut juga menimbulkan juga
menyebabkan edema yang dapat menekan jaringan sekitar sehingga aliran darah dan
oksigen ke jaringan tersebut menjadi terhambat dan mengalami hipoksia jaringan.
Reaksi anastetik yang ditimbulkan dari reaksi peradangan tersebut juga
menimbulkan kerusakan pada system eliminasi urine.
3)
Blok
pada saraf simpatis juga dapat diakibatkan dari cedera tulang belakang yang
menyebabkan kelumpuhan otot pernapasan sehinggan pemasukan oksigen ke dalam
tubuh akan menurun, dengan menurunnya kadar oksigen ke dalam tubuh akan
mengakibatkan tubuh berkompensasi dengan meningkatkan frekuensi pernapasan
sehingga timbul sesak.
Gambar 2. Cedera pada bagian
tertentu tulang belakang mengakibatkan kerusakan saraf
5.
KLASIFIKASI
Holdsworth
membuat klasifikasi cedera spinal sebagai berikut :
·
Cedera
fleksi
Cedera
fleksi menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior, dan selanjutnya
dapat menimbulkan kompresi pada bagian anterior korpus vertebra dan
mengakibatkan wedge fracture (teardrop fracture). Cedera semacam ini
dikategorikan sebagai cedera yang stabil
·
Cedera
fleksi-rotasi
Beban
fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum posterior dan kadang juga
prosesus artikularis, selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya dislokasi
fraktur rotasional yang dihubungkan dengan slice fracture korpus vertebra.
Cedera ini merupakan cedera yang paling tidak stabil.
·
Cedera ekstensi
Cedera ekstensi biasanya
merusak ligamentum longitudinalis anterior dan menimbulkan herniasi diskus.
Biasanya terjadi pada daerah leher. Selama kolum vertebra dalam posisi fleksi,
maka cedera ini masih tergolong stabil.
·
Cedera kompresi vertikal (vertical compression)
Cedera kompresi vertical mengakibatkan
pembebanan pada korpus vertebra dan dapat menimbulkan burst fracture.
·
Cedera robek langsung (direct shearing)
Cedera robek biasanya terjadi di
daerah torakal dan disebabkan oleh pukulan langsung pada punggung, sehingga
salah satu vertebra bergeser, fraktur prosesus artikularis serta ruptur
ligamen.
Berdasarkan sifat
kondisi fraktur yang terjadi, Kelly dan Whitesides mengkategorikan cedera
spinal menjadi cedera stabil dan cedera non-stabil. Cedera stabil mencakup
cedera kompresi korpus vertebra baik anterior atau lateral dan burst fracture
derajat ringan. Sedangkan cedera yang tidak stabil mencakup cedera
fleksi-dislokasi, fleksi-rotasi, dislokasi-fraktur (slice injury), dan burst
fracture hebat.
a.
Cedera stabil
·
Fleksi
Cedera fleksi akibat fraktura kompresi baji dari vertebra torakolumbal umum ditemukan dan stabil. Kerusakan neurologik tidak lazim ditemukan. Cedera ini menimbulkan rasa sakit, dan penatalaksanaannya terdiri atas perawatan di rumah sakit selama beberapa hari istorahat total di tempat tidur dan observasi terhadap paralitik ileus sekunder terhadap keterlibatan ganglia simpatik. Jika baji lebih besar daripada 50 persen, brace atau gips dalam ekstensi dianjurkan. Jika tidak, analgetik, korset, dan ambulasi dini diperlukan. Ketidaknyamanan yang berkepanjangan tidak lazim ditemukan.
Cedera fleksi akibat fraktura kompresi baji dari vertebra torakolumbal umum ditemukan dan stabil. Kerusakan neurologik tidak lazim ditemukan. Cedera ini menimbulkan rasa sakit, dan penatalaksanaannya terdiri atas perawatan di rumah sakit selama beberapa hari istorahat total di tempat tidur dan observasi terhadap paralitik ileus sekunder terhadap keterlibatan ganglia simpatik. Jika baji lebih besar daripada 50 persen, brace atau gips dalam ekstensi dianjurkan. Jika tidak, analgetik, korset, dan ambulasi dini diperlukan. Ketidaknyamanan yang berkepanjangan tidak lazim ditemukan.
·
Fleksi ke Lateral dan Ekstensi
Cedera ini jarang ditemukan pada
daerah torakolumbal. Cedera ini stabil, dan defisit neurologik jarang. Terapi
untuk kenyamanan pasien (analgetik dan korset) adalah semua yang dibutuhkan.
·
Kompresi Vertikal
Tenaga aksial mengakibatkan kompresi
aksial dari 2 jenis : (1) protrusi diskus ke dalam lempeng akhir vertebral, (2)
fraktura ledakan. Yang pertama terjadi pada pasien muda dengan protrusi nukleus
melalui lempeng akhir vertebra ke dalam tulang berpori yang lunak. Ini
merupakan fraktura yang stabil, dan defisit neurologik tidak terjadi. Terapi
termasuk analgetik, istirahat di tempat tidur selama beberapa hari, dan korset
untuk beberapa minggu.
Meskipun fraktura ”ledakan” agak stabil, keterlibatan
neurologik dapat terjadi karena masuknya fragmen ke dalam kanalis spinalis.
CT-Scan memberikan informasi radiologik yang lebih berharga pada cedera. Jika
tidak ada keterlibatan neurologik, pasien ditangani dengan istirahat di tempat
tidur sampai gejala-gejala akut menghilang. Brace atau jaket gips untuk
menyokong vertebra yang digunakan selama 3 atau 4 bulan direkomendasikan.
Jika ada keterlibatan neurologik, fragmen harus
dipindahkan dari kanalis neuralis. Pendekatan bisa dari anterior, lateral atau
posterior. Stabilisasi dengan batang kawat, plat atau graft tulang penting
untuk mencegah ketidakstabilan setelah dekompresi.
b.
Cedera Tidak Stabil
·
Cedera Rotasi – Fleksi
Kombinasi dari fleksi dan rotasi dapat
mengakibatkan fraktura dislokasi dengan vertebra yang sangat tidak stabil.
Karena cedera ini sangat tidak stabil, pasien harus ditangani dengan hati-hati
untuk melindungi medula spinalis dan radiks. Fraktura dislokasi ini paling
sering terjadi pada daerah transisional T10 sampai L1 dan berhubungan dengan
insiden yang tinggi dari gangguan neurologik. Setelah
radiografik yang akurat didapatkan (terutama CT-Scan), dekompresi dengan
memindahkan unsur yang tergeser dan stabilisasi spinal menggunakan berbagai
alat metalik diindikasikan.
·
Fraktura ”Potong”
Vertebra dapat tergeser ke arah
anteroposterior atau lateral akibat trauma parah. Pedikel atau prosesus
artikularis biasanya patah. Jika cedera terjadi pada daerah toraks,
mengakibatkan paraplegia lengkap. Meskipun fraktura ini sangat tidak stabil
pada daerah lumbal, jarang terjadi gangguan neurologi karena ruang bebas yang
luas pada kanalis neuralis lumbalis. Fraktura ini ditangani seperti pada cedera
fleksi-rotasi.
·
Cedera Fleksi-Rotasi
Change fracture terjadi akibat tenaga
distraksi seperti pada cedera sabuk pengaman. Terjadi pemisahan horizontal, dan
fraktura biasanya tidak stabil. Stabilisasi bedah direkomendasikan.
6.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG
a.
Hasil
AGD menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya
ventilasi
b.
CT Scan untuk menentukan tempat luka
atau jejas
c.
MRI untuk mengidentifikasi kerusakan
saraf spinal
d.
Foto Rongen Thorak untuk mengetahui
keadaan paru
e.
Sinar – X Spinal untuk menentukan
lokasi dan jenis cedera tulang (Fraktur/Dislokasi)
f.
Tomogram
g.
Mielogram
h.
Odontoid View Films
i.
Spinal Films (lateral and oblique)
(ENA,
2000 ; 427)
7.
KOMPLIKASI
Efek dari cedera kord spinal akut mungkin mengaburkan penilaian atas
cedera lain dan mungkin juga merubah
respon terhadap terapi. 60% lebih pasien dengan cedera kord spinal bersamaan dengan cedera
major: kepala atau otak, toraks,
abdominal, atau vaskuler. Berat serta jangkauan cedera penyerta yang
berpotensi didapat dari penilaian primer
yang sangat teliti dan penilaian ulang yang
sistematik terhadap pasien
setelah cedera kord spinal. Dua penyebab kematian utama
setelah cedera kord spinal adalah aspirasi dan syok. (Wikipedia, Maret,
2009)
8.
PENATALAKSANAAN KEGAWATDARURATAN DAN
TERAPI PENGOBATANNYA
a.
Mempertahankan
ABC (Airway, Breathing, Circulation)
b.
Mengatur
posisi kepala dan leher untuk mendukung airway : headtil, chin lip, jaw thrust.
Jangan memutar atau menarik leher ke belakang (hiperekstensi), mempertimbangkan
pemasangan intubasi nasofaring.
c.
Stabilisasi
tulang servikal dengan manual support, gunakan servikal collar, imobilisasi
lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang.
d.
Stabililisasi
tulang servikal sampai ada hasil pemeriksaan rontgen (C1 - C7) dengan
menggunakan collar (mencegah hiperekstensi, fleksi dan rotasi), member lipatan
selimut di bawah pelvis kemudian mengikatnya.
e.
Menyediakan
oksigen tambahan.
f.
Memonitor
tanda-tanda vital meliputi RR, AGD (PaCO2), dan pulse oksimetri.
g.
Menyediakan
ventilasi mekanik jika diperlukan.
h.
Memonitor
tingkat kesadaran dan output urin untuk menentukan pengaruh dari hipotensi dan
bradikardi.
i.
Meningkatkan
aliran balik vena ke jantung.
a.
Berikan
antiemboli
b.
Tinggikan
ekstremitas bawah
c.
Gunakan
baju antisyok.
j.
Meningkatkan
tekanan darah
a.
Monitor
volume infuse
b.
Berikan
terapi farmakologi ( vasokontriksi)
k.
Berikan
atropine sebagai indikasi untuk meningkatkan denyut nadi jika terjadi gejala
bradikardi.
l.
Mengetur
suhu ruangan untuk menurunkan keparahan dari poikilothermy.
m.
Memepersiapkan
pasien untuk reposisi spina.
n.
Memberikan
obat-obatan untuk menjaga, melindungi dan memulihkan spinal cord : steroid
dengan dosis tinggi diberikan dalam periode lebih dari 24 jam, dimulai dari 8
jam setelah kejadian.
o.
Memantau
status neurologi pasien untuk mengetahui tingkat kesadaran pasien.
p.
Memasang
NGT untuk mencegah distensi lambung dan kemungkinan aspirasi jika ada indikasi.
q.
memasang
kateter urin untuk pengosongan kandung kemih.
r.
Mengubah
posisi pasien untuk menghindari terjadinya dekubitus.
s.
Memepersiapkan
pasien ke pusat SCI (jika diperlukan).
t.
Mengupayakan
pemenuhan kebutuhan pasien yang teridentifikasi secara konsisten untuk
menumbuhkan kepercayaan pasien pada tenaga kesehatan.
u.
Melibatkan
orang terdekat untuk mendukung proses penyembuhan.
(ENA, 2000 ; 427)
B. KONSEP
DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1.
PENGKAJIAN
·
PENGKAJIAN PRIMER
Data Subyektif
1.
Riwayat
Penyakit Sekarang
a)
Mekanisme
Cedera
b)
Kemampuan
Neurologi
c)
Status
Neurologi
d)
Kestabilan
Bergerak
2.
Riwayat
Kesehatan Masa Lalu
a)
Keadaan
Jantung dan pernapasan
b)
Penyakit
Kronis
Data Obyektif
1.
Airway
-
adanya
desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera spinal sehingga mengganggu
jalan napas
2.
Breathing
-
Pernapasa
dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan dinding dada
3.
Circulation
-
Hipotensi
(biasanya sistole kurang dari 90 mmHg), Bradikardi, Kulit teraba hangat dan
kering, Poikilotermi (Ketidakmampuan mengatur suhu tubuh, yang mana suhu tubuh
bergantung pada suhu lingkungan)
4.
Disability
-
Kaji
Kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan bergerak, kehilangan sensasi,
kelemahan otot
·
PENGKAJIAN SEKUNDER
a)
Exposure
-
Adanya
deformitas tulang belakang
b)
Five
Intervensi
-
Hasil
AGD menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
-
CT
Scan untuk menentukan tempat luka atau jejas
-
MRI
untuk mengidentifikasi kerusakan saraf spinal
-
Foto
Rongen Thorak untuk mengetahui keadaan paru
-
Sinar
– X Spinal untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (Fraktur/Dislokasi)
c)
Give
Comfort
-
Kaji
adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak
d)
Head
to Toe
-
Leher
: Terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera
-
Dada : Pernapasa
dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan dinding dada, bradikardi,
adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera spinal
-
Pelvis
dan Perineum : Kehilangan control dalam eliminasi urin dan feses, terjadinya
gangguan pada ereksi penis (priapism)
-
Ekstrimitas
: terjadi paralisis, paraparesis, paraplegia atau quadriparesis/quadriplegia
e)
Inspeksi
Back / Posterior Surface
-
Kaji
adanya spasme otot, kekakuan, dan deformitas pada tulang belakang
2.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1)
Pola
napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi ditandai dengan
dispnea,terdapat otot bantu napas
2)
Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan
penyumbatan aliran darah ditandai dengan bradikardi, nadi teraba lemah,
terdapat sianosis, akral teraba dingin, CRT > 2 detik, turgor tidak elastis,
kelemahan, AGD abnormal
3)
Nyeri
akut berhubungan dengan gangguan neurologis
4)
Gangguan
mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular ditandai dengan
paralisis dan paraplegia pada ekstremitas.
5)
Kerusakan
eliminasi urine berhubungan dengan kerusakan sensori motorik ditandai dengan kehilangan
kontrol dalam eliminasi urine.
6)
Risiko
decera berhubungan dengan penurunan kesaradaran.
3.
RENCANA TINDAKAN
1.
Pola
napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi ditandai dengan
dispnea,terdapat otot bantu napas
Tujuan
keperawatan : setelah diberikan tindakan keperawatan selama 2x15 menit,
diharapkan pola napas pasien efektif dengan kriteria hasil:
a.
Pasien
melaporkan sesak napas berkurang
b.
Pernapasan
teratur
c.
Takipnea
tidak ada
d.
Pengembangan
dada simetris antara kanan dan kiri
e.
Tanda
vital dalam batas normal (nadi 60-100x/menit, RR 16-20 x/menit, tekanan darah
110-140/60-90 mmHg, suhu 36,5-37,5 oC)
f.
Tidak
ada penggunaan otot bantu napas
Intervensi
Mandiri
:
1.
Pantau
ketat tanda-tanda vital dan pertahankan ABC
R/
: Perubahan pola nafas dapat mempengaruhi tanda-tanda vital
2.
Monitor
usaha pernapasan pengembangan dada, keteraturan pernapasan nafas bibir dan
penggunaan otot bantu pernapasan.
R/ : Pengembangan dada dan penggunaan otot bantu
pernapasan mengindikasikan gangguan pola nafas
3.
Berikan posisi semifowler jika tidak ada kontra indiksi
R/ : Mempermudah ekspansi paru
4.
Gunakan servikal collar, imobilisasi lateral kepala,
meletakkan papan di bawah tulang belakang.
R/ : Stabilisasi tulang servikal
Kolaborasi :
1.
Berikan oksigen sesuai indikasi
R/ : Oksigen yang adekuat dapat menghindari resiko
kerusakan jaringan
2.
Berikan obat sesuai indikasi
R/ : Medikasi yang tepat dapat mempengaruhi ventilasi
pernapasan
2.
Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan
penyumbatan aliran darah ditandai dengan bradikardi, nadi teraba lemah,
terdapat sianosis, akral teraba dingin, CRT > 2 detik, turgor tidak elastis,
kelemahan, AGD abnormal
Tujuan
Keperawatan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x5 menit diharapkan
perfusi jaringan adekuat dengan kriteria hasil :
a.
Nadi teraba kuat
b.
Tingkat kesadaran composmentis
c.
Sianosis atau pucat tidak ada
d.
Nadi Teraba lemah, terdapat sianosis,
e.
Akral teraba hangat
f.
CRT < 2 detik
g.
GCS 13-15
h.
AGD normal
Intervensi :
1. Atur posisi kepala dan leher untuk
mendukung airway (jaw thrust). Jangan memutar atau menarik leher ke belakang
(hiperekstensi), mempertimbangkan pemasangan intubasi nasofaring.
R/
: Untuk mempertahankan ABC dan mencegah terjadi obstruksi jalan napas
2. Atur suhu ruangan
R/
: Untuk menurunkan keparahan dari poikilothermy.
3. Tinggikan ekstremitas bawah
R/
: Meningkatkan aliran balik vena ke jantung.
4. Gunakan servikal collar, imobilisasi
lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang.
R/
: Stabilisasi tulang servikal
5.
Sediakan oksigen dengan nasal canul untuk mengatasi hipoksia
R/: Mencukupi kebutuhan oksigen tubuh dan oksigen juga
dapat menurunkan terjadinya sickling.
6.
Ukur
tanda-tanda vital
R/: Perubahan tanda-tanda vital seperti bradikardi akibat
dari kompensasi jantung terhadap penurunan fungsi hemoglobin
7.
Pantau
adanya ketidakadekuatan perfusi :
Peningkatan rasa nyeri
Kapilari refill . 2 detik
Kulit : dingin dan pucat
Penurunanan output urine
R/: Menunjukkan adanya ketidakadekuatan perfusi jaringan
8.
Pantau
GCS
R/:
Penurunan perfusi terutama di otak dapat mengakibatkan penurunan tingkat
kesadaran
9.
Awasi
pemeriksaan AGD
R/:
Penurunan perfusi jaringan dapat menimbulkan infark terhadap organ jaringan
3.
Nyeri
akut berhubungan dengan gangguan neurologis
Tujuan keperawatan: setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 3 x 15 menit diharapkan nyeri pasien dapat
berkurang dengan kriteria hasil :
a. Tanda-tanda
vital dalam batas normal (Nadi 60-100 x/menit),(Suhu 36,5-37,5),( Tekanan Darah
110-140/60-90 mmHg),(RR 16-20 x/menit)
b. Penurunan
skala nyeri( skala 0-10)
c. Wajah
pasien tampak tidak meringis
Intervensi:
1.
Kaji
PQRST pasien :
R/:
pengkajian yang tepat dapat membantu dalam memberikan intervensi yang tepat.
2.
Pantau
tanda-tanda vital
R/:
nyeri bersifat proinflamasi sehingga dapat mempengaruhi tanda-tanda vital.
3.
Berikan
analgesic untuk menurunkan nyeri
R/
: Analgetik dapat mengurangi nyeri yang berat (memberikan kenyamanan pada
pasien)
4.
Gunakan
servikal collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang
belakang.
R/
: Stabilisasi tulang belakang untuk mengurangi nyeri yang timbul jika tulang
belakang digerakkan.
DAFTAR PUSTAKA
ENA. 2000.
Emergency Nursing Core Curriculum. 5thED. USA: WB.Saunders Company
Campbell, Jhon Pe. 2004. Basic Trauma Life Support. New Jersy :
Person Prentice Hall.
Doengoes,
Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan :
Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi
3, EGC : Jakarta
Price, S. A.
2000. Patofisiologi : Konsep klinis
Proses-proses Penyakit, Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif.
2007. Pengantar Asuhan Keperawatan Sistem Persyarafan. Jakarta:Salemba
Smeltzer,C.S.
2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner dan Suddarth.Edisi 8. Jakarta: EGC
Wikipedia,
the free encyclopedia, 2009, Spinal cord injury, (Online), (http://en.wikipedia.
org/wiki/Triage, Diakses pada tgl 21 Maret 2010).
Anda sedang membaca artikel tentang ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TRAUMA SPINAL DAN SERVIKAL, Anda boleh menyebar luaskan atau mengcopy - paste artikel di atas jika memang sangat bermanfaat bagi anda.. Dengan syarat anda harus meletakkan link di bawah ini sebagai sumbernya..